Ads 468x60px

Sabtu, 21 Januari 2012

Essei 2 : Satu Sudut di Mendalo Darat

Oleh Watim Subekti,S.Pd.

Kakek itu duduk di bawah pohon durian dengan ritme nafas yang tak normal. Ketuaannya yang membuat ia begitu. Bekerja dan berjalan agak cape sedikit nafasnya segera tersenggal-senggal. Ia menatapku dengan penuh kejut. Dan di saku komprangnya ia keluarkan sebatang rokok putih. Seperti memegang binatang yang menggelikan, ia menyerahkannya padaku.

“Ini rokok kesukaannmu. Kau, da ado rokok kan? “ Si kakek yang akarab di panggil Mbah Kaolan itu tau betul aku tak punya rokok. Ia tersenyum sambil
terus memegang rokok dengan kedua jarinya.
“ Dapat dari mana,Mbah? “
“ Adolah,’ katanya. Aku tahu ia tidak merokok. Entah dari mana ia memperoleh sebatang rokok itu.

Suhu panas di siang hari dengan sedikit angin, di bawah pohon durian itu menjadi tempat yang nyaman. Sejak aku tinggal di si Mbah, tempat duduk yang sederhana itu sudah ada. Menjelang sore segera akan rame oleh penghuni kost di tempat si Mbah untuk bersenda gurau. Malammnya kadang dipakai untuk berdiskusi, mengerjakan tugas, dan kalau malam minggu untuk bernyayi-nyayi.

Si Mbah kaolan masih terduduk sambil mengipas-ngipas badanya dengan sarung. Jika siang yang gerah begini, ia hanya mngenakan celan komprang putih dengan kaus singlet. Juga berwarna putih. Sebuah sarung diselendangkannya melintang di bahu. Begitu kesehariannya. Mengawasi tempat kost dengan penuh perhatian dan mejadi scurity bagi tamu lelaki yang berkunjung ke kamar kost perempuan. Ia sangat ketat terhadap yang satu itu. Ia tidak ingin tempat kostnya menjadi tempat mesum. Bahkan ia tak segan-segan memarahi dan mengusirnya jika kedapatan ada tamu lelaki di kamar kost perempuan yang melanggar peraturan.

Masih di bawah pohon durian ia duduk bersamaku dan tiba-tiba sepenggal cerita masa lalunya diutarakan kepadaku. Ia merantau dari Jawa ke Jambi ketika jaman revolusi fisik pemepertahankan kemerdekaan. Tahun berapa pada episode mana, tak jelas kuketahui.
“ Aku rebut senjata itu dari Nipon,Tim! Nian ! Da ado dio melawan. Da Ado.” Begitu semangat ia bercerita. Mengisahkan ketika perebutan senjata pada tentara Jepang.

“ Dulu ado senjatanya. Pernah kupakai untuk mengepung harimau. Pelurunya jugo banyak. Sekarang lah habis,” katanya sambil sesekali membersihkan mukanya dengan sarung. Ia mengatur ritme nafasnya dan kembali menceritakan tentang perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan. Sampai akhirnya ia menikah dengan orang Jambi dan beranak pinak di Mendalo Darat. Ketika revolusi fisik, ia termasuk yang selamat. 

Kawan-kawannya banyak yang gugur. Ia bukan tentara, ia hanyalah rakyat biasa. Namun saat itu tidak ada pembeda antara tentara dan rakyat. Semuanya sama: pejuang. Pejuang yang siap mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan. Ia tidak memilki lencana dan bintang kehormatan. Ia tidak ditulis dalam prasasti. Ia tak pernah pula meminta untuk mencatatnya. Ketika hasil perjuangan itu benar-benar telah diraihnya, ia hanya hidup dari sejengkal tanah yang ditanami palawija untuk sekedar merasakan bahwa kita telah merdeka!

Pejuang adalah pejuang. Di mana dan kapan pun pejuang akan tetap menjadi pejuang.Tidak terlindas oleh dimensi ruang dan waktu.Tak ada kemerdekaan itu tanpa pejuang. Mbah Kaolan dan Mbhah kaolan yang lainnya adalah pejuang yang terlupaan dari lembaran buku sejarah dan tak memintanya untuk menuliskannya. 

Namun pemahaman kita terhapa Mbah Kaolan dalah rakyat yang berusaha untuk berdaulat di tanah leluhurnya. Rakyat yang berani mati untuk sebuah harga diri. Rakyat yang tak pernah menuntut apa-apa dari bangsanya. Rakyat yang berhak menetukan nasib hidupnya.

Mbah Kaolan kini telah tiada. Ia sudah meninggal di hari Idul Fitri, sudah lama sekali. Tapi, di bawah pohon durian itu, di sudut kota Mendalo Darat, Mbah kaolan terasa masih ada walaupun mungkin sekarang kurang mengenalinya.

Subang, Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 

Total Tayangan Halaman