Ads 468x60px

Rabu, 01 Februari 2012

Essei 3 : Lautku, Lautmu, Lautan Kita

Oleh: Watim Subekti, S.Pd.

Mayangan dahulu ramai jika malam terang dan perahu nelayan berlabuh untuk menjual ikan di pelelangan. Desa di pantai utara Subang itu begitu mempesona di malam hari. Deretan perahu berjejer di sungai yang mengalir ke laut. Cahaya lampu bertaburkan sinar berwarna warni menghiasi rumah-rumah penduduk dan perahu di pinggir sungai. Sebagian para nelayan sibuk memperbaiki jaring, sebagian lagi tengah mempersiapkan
perbekalan untuk melaut. Alunan musik hampir di setiap sudut. Desa ini tidak pernah mati, selama masih ada laut dan perahu yang mendatangi.
Roda kehidupan begitu menjanjikan seiring dengan kesibukan aktivitas ekonomi di desa itu. Para pemilk empang, para nelayan, para juragan, kuli panggul ikan, pengusaha ikan asin, pembuat terasi, para saudagar, sampai pengulit kepiting semuanya menikmati keberkahan dari laut. Para investor pun tertarik atas perkembangan desa ini. Sebuah hotel di bangun, wisata bahari dikembangkan dan sarana transportasi diperbagus.
Kini semua itu tinggal kenangan. Masa keemasan desa itu telah lenyap ditelan gelombang laut. Tak ada lagi tambak udang. Tak ada lagi empang. Tak ada lagi perahu besar yang datang. Entah karena pelelangannya tak berkembang ataukah sungainya yang terus mengalami pendangkalan. Dan saat air laut pasang, desa itu seperti lautan. Semua terendam. Sedikit-demi sedikit bibir pantai tergerus air laut. Rumah-rumah banyak yang kosong, ditinggalkan pemiliknya. Sebagian masih tetap menerima kenyataan hidup apa adanya. Karena harus ke mana lagi bermukim. Ini satu-satunya tempat untuk berteduh. Tempat semua harapan dan impian digantungkan. Laut yang kini, bukan lagi laut yang dahulu.
Beberapa perahu lokal masih ada yang mengais rizki di laut. Mereka mencari ikan, kepiting, udang, rumput laut,kerang,limbah plastik walapun harus melawan keganasan gelombang. Seolah tak ada pilihan lain. Itulah yang harus dilakukan untuk menghidupi keluarga. Demikianlah yang diwariskan dari nenek moyangnya. Di laut dan ke laut mereka harus hidup. Dalam situasi apa pun dan dalam kondisi yang bagaimanapun, mereka harus hidup dengan laut. Laut adalah jiwanya. Hidup atau mati.
Mereka tidak memahami apa yang terjadi dengan tempat kehidupannya. Yang mereka tahu kini laut tak bisa lagi diramal. Kapan datangnya air pasang besar tak bisa lagi berlangganan. Mereka hanya memahami bahwa sejak terjadinya tsunami di Aceh air laut mulai berubah. Gelombangnya besar, abrasinya cepat, dan permukaanya semakin tinggi. Begitulah mereka menghubungkan keganjilan itu dengan kejadian akbar beberapa tahun lalu di ujung Sumatera. Entah karena pristiwa itu terlalu terkenal ataukah karena waktu perbuhannya yang bersamaan atau memanag benar ada korelasinya. Biarlah kita cari jawabnya nanti. Karena betapa sulit kita memahami tempat tinggal kita. Betapa sukar kita menjawabnya. Begitu banyak yang harus kita tautkan atas semua perubahan tentang dunia kecil kita.
Anomali laut kita itu hanyalah sebuah misteri saja dari sekian misteri yang kita punya. Seperti pelaut sejati kita di atas, tak begitu banyak yang dapat kita ceritakan untuk menjawab satu misteri itu. Kecuali di antara penghuni dunia kecil ini memperlakukan tempat tinggalnya penuh dengan keserakahan. Kecuali di antara kita mencoreti planet indah ini dengan sekecsta yang keliru. Hingga pada suatu keadaan tak ada lagi dahan tempat kicauan burung, akar tempat air bergelantung, daun tempat yang hidup bernafas, dan pohon tempat penyejuk pada bumi yang akhir-akhir ini semakin panas.
Semua itu atas nama kemajuan. Semua itu beralibi demi kemakmuran. Tanpa batas, begitu deras, dunia kecil kita itu dipaksa mengikuti kehendak penghuninya. Dipaksa dipereteli pepohonannya, dipaksa diambil isi perutnya, dipaksa dikotori limbah, dipaksa diasapi, dipaksa dirumahi kaca, dipaksa menghirup gas perusak ozon. Jika tidak dipaksa, mungkin akan lain ceritanya karena sudah menjadi tugasnya memuliakan penghuninya. Menjadikannya tanaman berbuah, menyimpannya air untuk minum dan keperluan lainnya, memberinya gas yang sejuk.
Dunia kecil kita itu kini menangis. Tak sanggup lagi menahan beban derita dan penyiksaan penghuninya. Tak tahan lagi menahan panas sang surya karena pelindungnya rusak oleh kita. Air matanya mengalir dari mata kutub utara dan mata kutub selatan dan bertumpah ruah menuju lautku,lautmu dan lautan kita.

Subang, 29 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 

Total Tayangan Halaman